in

Sebetulnya Permasalahan Hidup Itu Begitu-begitu Saja

Kalau dipikir-pikir, permasalahan hidup itu ya begitu-begitu saja.

Mungkin, kebanyakan kadarnya biasa-biasa saja. Akan tetapi, persepsi kitalah yang menjadikan realitas objektif yang biasa saja itu menjadi bengkak sejadi-jadinya.

Kenapa kita suka pusing, mungkin karena suka memikirkan apa yang sebetulnya tidak perlu menjadi beban pikiran. Yang tadinya bukan masalah, malah menjadi permasalahan. Seperti kisah seseorang yang tersiksa karena pulang pergi kerjanya pakai motor, sementara ia melihat temannya memakai mobil. Padahal ada pula orang yang pulang pergi kerjanya harus berdesakan di kereta. Tetapi ia merasa biasa-biasa saja, senang-senang saja.

Ini semua tentang interaksi antara kehendak Allah dengan respon kita terhadapnya. Sikap terbaik kita terhadap apapun kehendak Allah, khususnya saat menghadapi permasalahan hidup, kata Ibnul Jauzi, adalah ridha. Bila tidak bisa, maka hendaklah kita bersabar. Bila tidak bisa juga, hadapilah dengan kekuatan menanggung beban.

Memang, medan beramal tidak semudah medan berbicara. Berat, dan selalu seperti itu, berat. Apalagi kalau semua itu dibebankan kepada isi kepala yang berkemampuan terbatas itu. Atau kepada tubuh yang kalau sehari saja tidak makan dan minum, maka akan lemah mungurang daya kerjanya itu.

Mungkin permasalahan hidup sengaja dirancang berat, agar kebergantungan kita kepada selain-Nya benar-benar terputus. Sehingga dengannya kita ditarik-paksa untuk hanya bergantung pada-Nya. Bukan kepada orang lain atau diri sendiri.

Aah, ya. Mungkin semua ini soal kembali kepada-Nya. Sebagaimana Ibnu Athaillah yang kurang lebih berkata, kalau dengan limpahan nikmat tidak menjadikan seseorang kembali pada-Nya, maka ia akan ditarik-paksa kepada-Nya dengan rantai musibah.

Jadi, kalau sedang menghadapi permasalahan hidup, katakanlah “Mungkin Allah ingin mengajariku kembali bagaimana caranya bermunajat.” Kemudian yakinilah, “Tidak ada yang bisa mendatangkan manfaat dan mudharat selain Allah. Dan ketetapan Allah ini pastilah taqdir terbaik bagiku. So, hadapi saja.”

Kalau terasa berat, wajar, karena “wakhuliqal insaana dha’iifa” kita tercipta dalam kelemahan daya. Tetapi harus tetap optimis, karena “laa yukallifullahu nafsan illa wush’ahaa”, tidaklah Allah membebankan apa yang kita tak sanggup menanggungnya. Dan, bentuk optimis terbaik adalah mengawalinya dengan meletakan pergantungan dan sandaran hanya kepada-Nya, bukan kepada makhluk-Nya.

Kemudian melangkah dengan keyakinan penih bahwa “wa man yattaqillaha yaj’al lahuu makhraja, wa yarzuqhu min haitsu laa yahtasib”. Siapa yang bertaqwa, Allah sediakan baginya jalan keluar, dan akan memberinya rezeki dari arah tak terduga. Dan setelah itu serahkan saja semuanya pada-Nya, “wa man yatawakkal ‘alallahi fahuwa hasbuh” siapa bertawakkal pada-Nya, Allah akan memberinya kecukupan.

Dan begitu seterusnya. Setelah permasalahan satu selesai, akan datang lagi permasalahan lain. Substansinya sama, yakni agar kita bisa semakin dekat sama Allah. Hanya saja mungkin casing-ya/bajunya beda. Boleh jadi dengan level kesulitan yang berbeda pula. Respon kita? Respon dengan pola yang sama, tinggal disesuaikan saja.

Semoga Allah memberi kita kekuatan untuk istiqamah menjemput ridha-Nya.

This post was created with our nice and easy submission form. Create your post!

What do you think?

7 points
Upvote Downvote

3 Comments

Leave a Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Allah is the best listener

Kerangka Hati dan Rumahnya